Sekilas Mengenal REDD

Sumber Gambar :

MENGENAL REDD (Reduced Emissions From Deforestation and Degradation)

 

 

  1. REDD berdasarkan UU nomor 17 tahun 2004

     REDD (Reduced Emissions From Deforestation and Degradation) atau penggurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD (Reduced Emissions From Deforestation and Degradation) merupakan satu diantara skema yang hangat diperdebatkan dalam perundingan perubahan iklim. Skema ini awalnya dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika yang tidak mendapat keuntungan apapun dari skema perubahan iklim dibawah aturan protocol Kyoto. Dua skema Kyoto yaitu 1) emission trading (ET) dan joint implementation (JI) hanya berlaku untuk dan diantara Negara Annex 1 dan 2) Clean development mechanism (CDM) yang melibatkan Negara berkembang tapi dibatasi tidak lebih dari 1 % pengurangan atas total yang bisa dikerjakan melalui proyek CDM di Negara berkembang. Mekanisme ET, JI dan CDM sebagai pelengkap atas tujuan utama Kyoto yakni mendesak agar Negara Annex I mengurangi emisi domestiknya. Adapun Negara-negara yang termasuk Annex I berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2004 tentang protocol Kyoto atas konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa-bangsa tentang perubahan iklim sebagai berikut :

No

Negara

Pembatasan emisi yang terkuantisir/komitmen pengurangan

Emisi (Gg) karbondioksida

Persentase emisi karbondioksida

1

2

3

4

5

1

Australia

108

288,965

2,1

2

Austria

92

59,200

0,4

3

Belgia

92

113,405

0,8

4

Bulgaria *

92

82,990

0,6

5

Kanada

94

457,441

3,3

6

Kroasia*

95

 

 

7

Republik Ceko *

92

169,514

1,2

8

Denmark

92

52,100

0,4

9

Estonia*

92

37,797

0,3

10

Masyarakat Eropa

92

 

 

11

Finlandia

92

53,900

0,4

12

Perancis

92

366,536

2,7

13

Jerman

92

1.012,433

7,4

14

Yunani

92

82.100

0,6

15

Hongaria*

94

71.673

0,5

16

Islandia

110

2.172

0,0

17

Islandia

92

 

 

18

Irlandia

92

30.719

0,2

19

Italia

94

428.941

3,1

20

Jepang

92

1.173.360

8,5

21

Latvia*

92

22.976

0,2

22

Liechtenstein

92

208

0,0

23

Lituania*

92

 

 

24

Luxemburg

92

11.343

0,1

25

Monaco

92

71

0,0

26

Nederland

92

167.600

1,2

27

Selandia baru

100

25.530

0,2

28

Norwegia

101

35.533

0,3

29

Polandia*

94

414.930

3,0

30

Portugis

92

42.148

0,3

31

Romania*

92

171.103

1,2

32

Federasi Rusia*

100

2.388.720

17,4

33

Slovakia*

92

58.278

0,4

34

Slovenia*

92

 

 

35

Spanyol

92

260.654

1,9

36

Swedia

92

61.256

0,4

37

Switzerland

92

43.600

0,3

38

Ukrania*

100

 

 

39

Negeri inggris dan irlandia utara

92

584.078

4,3

40

Amerika Serikat

93

4.957.022

36,1

 

II.Sejarah REDD dan REDD +

Perdebatan mengenai ReDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka implementasi konvensi perubahan iklim, terutama Protokol Kyoto. Pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto menyebutkan: Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest management practices, afforestation and reforestation (Melindungi dan memperluas penyerapan dan penampungan Gas-gas Rumah Kaca tidak diatur oleh Protokol Montreal, dengan mengingat komitmennya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lingkungan internasional; mendukung praktek-praktek pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan, penghijauan kembali dan penanaman hutan).

Hal yang tercantum dalam Protokol Kyoto ini diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana Protokol Kyoto yang dibahas di CoP 7 di Marrakesh, Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakech Accords. Salah satu keputusan Marrakech Accords adalah mengenai penggunaan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk definisi, modalitas (cara) dan panduannya atau disebut LULUCF (Marrakech Accord 11/CP.7,Lampiran 1 A).

Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan yang sudah berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan signifikan. Papua Nugini sebelum COP 11 di Montreal tahun 2005 melihat perlunya upaya serius mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif PNG ini didorong kuat oleh Kevin Condrad, duta besar dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad menjalani studi di Columbia Business School dengan fokus pada proyek penelitian mengenai apakah uang dari kredit karbon setara dengan pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkendali memang menjadi masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim sebagai peluang politik untuk merundingkan nilai ekonomi hutan dalam pasar karbon dan menekan laju deforestasi

Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan ReDD saat ini. Dalam paragraf 1 b (iii) BAP disebutkan bahwa: Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable forest management, dan perluasan stok karbon di negara-negara berkembang. Dengan demikian, cakupan ReDD dalam pasal ini adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SFM. Konsep ini persis mengikuti logika LuLuCF yang disepakati dalam Marrakech Accord, sehingga kerap disebut ReDD plus LuLuCF.  

Pasal lain dalam Bali Action Plan juga mengemukakan tiga hal terkait dengan REDD yakni:

  • Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project ReDD
  • Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang
  • Panduan untuk proyek-proyek ReDD lewat metodologi yang kokoh dan dapat dipercaya.

Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek ReDD di berbagai lokasi, termasuk di Indonesia. Pada CoP 14 di Poznan, ReDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut ReDD+. Sama seperti perdebatan ReDD, dalam ReDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan denganpendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air.

  1. Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Bertingkat Ganda Untuk ReDD+

Satu isu utama lain dari ReDD+ adalah benefit sharing yaitu bagaimana menciptakan skema pembagian manfaat sebagaimana yang sudah berlakukan dalam ‘pembayaran untuk jasa lingkungan’ atau ‘payments for environmental services (PeS)’ bertingkat ganda (internasional dan nasional), seperti diilustrasikan pada Gambar dibawah ini berikut:

Di tingkat internasional pembeli jasa akan membayar secara sukarela ataupun wajib kepada penyedia jasa (pemerintah atau badan-badan sub-nasional di negara berkembang) untuk jasa lingkungan (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), atau kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (reformasi tenurial untuk penegakan hukum). Di tingkat negara, pemerintah nasional atau lembaga perantara lain (pembeli jasa) akan membayar pemerintah sub-nasional atau pemilik lahan (penyedia jasa) untuk mengurangi emisi atau melakukan kegiatan lain yang bisa mengurangi emisi. Strategi ReDD nasional (disamping PeS) akan menyertakan serangkaian kebijakan seperti reformasi tenurial, pengelolaan kawasan hutan lindung yang lebih efektif dan kebijakan yang mengurangi ketergantungan pada hasil hutan dan lahan hutan. Salah satu keuntungan menggunakan pendekatan nasional adalah kebijakan tersebut dapat memperoleh kredit bila terbukti mengurangi emisi.

 

 

 

 

  1. KONSEP REDD+ Di Indonesia

REDD merupakan skema untuk memberi imbalan bagi negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan tingkat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi ini diperhitungkan sebagai kredit karbon, yang diserahkan ke lembaga pendanaan untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara peserta yang melindungi hutannya. Sejak 31 Agustus 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah membentuk Badan Pengelola REDD+. Dimana badan pengelola REDD+ berfungsi untuk melaksana pengurangan emisi yang ada di Indonesia.

REDD+ merupakan cara paling nyata, murah, cepat dan saling menguntungkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Maksudnya nyata adalah karena seperlima dari emisi Gas rumah kaca berasal dari deforestasi dan degradasi hutan; Murah karena sebagian besar deforestasi dan degradasi hutan menguntungkan secara marjinal sehingga pengurangan emisi GRK dari hutan akan lebih murah ketimbang alat atau instrument lainnya; cepat karena pengurangan yang besar pada emisi GRK dapat dicapai dengan melakukan reformasi kebijakan dan tindakan-tindakan lain yang tidak tergantung pada inovasi teknologi; saling menguntungkan karena berpotensi untuk menghasilkan pendapatan dalam jumlah besar dan perbaikan kepemerintahan.

Salah satu wujud komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) adalah penandatanganan letter of intent (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi hutan (ReDD+) pada tanggal 26 Mei 2010. Mekanisme ReDD+ merupakan pengembangan dari mekanisme ReDD+ yang tidak hanya berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas yakni sustainable forest management (SFM), carbon stock enhancement, dan forest restoration & rehabilitation. Ada tiga tahap kerja sama dalam kerangka LoI tersebut (DNPI 2010), yaitu :

1. Tahap Persiapan (Juli – Desember 2010) yang meliputi :

- Penyusunan Strategi Nasional ReDD+ - Pembentukan Lembaga ReDD+ - Penetapan Lembaga Independen MRv - Penetapan instrumen pembiayaan - Penetapan provinsi percontohan  

2. Tahap Transformasi (2011-2013) yang meliputi :

- operasionalisasi instrumen pembiayaan - MRv tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3 - Moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut - Pengembangan basis data hutan yang terdegradasi untuk investasi - Penegakan hukum pembalakan, perdagangan kayu dan pembentukan satuan Tindak Kriminal Kehutanan - Penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial

3. Tahap Pembayaran Kontribusi (mulai 2014).

 

  1. Keterkaitan REDD+ dan RAN GRK

Keterkaitan REDD + dan kegiatan rencana aksi nasional gas rumah kaca dapat terlihat sebagaimana gambar 3 diatas. Dimana strategi pengurangan emisi ditindaklanjuti melalui rencana aksi nasional gas rumah kaca. Untuk memudahkan dalam pelaksanaannya maka dibentuk lembaga REDD+ nasional yang bersifat koordinatif dengan instansi lainnya. Sebagaimana tertuang Dalam dokumen Stranas REDD+ (2012) disebutkan bahwa untuk pelaksanaan stranas REDD+ pada tingkat nasional akan dibentuk tiga lembaga, yaitu Lembaga REDD+; Instrumen Pendanaan REDD+; serta Institusi Koordinasi dan Sistem Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ yang disebut juga Institusi MRV REDD+. Pada tingkat sub-nasional, pemerintah provinsi dapat membentuk lembaga REDD+ untuk menyusun dan menjalankan Strategi dan Rencana Aksi Daerah REDD+ yang diturunkan dari Strategi Nasional REDD+.

Lembaga REDD+ Provinsi mengkoordinasikan kegiatan secara tematik, termasuk:

  1. penyelenggaraan rangkaian kegiatan pengukuran, pelaporan), dan verifikasi penurunan emisi (Measurement, Reporting and Verification/MRV);

(ii) memastikan efektivitas pendanaan REDD+; dan

(iii)secara berkala melaporkan perkembangan program/ proyek/kegiatan di daerahnya kepada Lembaga REDD+ Nasional. Selanjutnya, kabupaten juga dapat membentuk lembaga REDD+ untuk melakukan koordinasi secara konsisten dan efisien dengan semua pemrakarsa kegiatan REDD+ di tingkat kabupaten, dan secara berkala melapor ke lembaga tingkat provinsi. Data dan informasi mengenai perkembangan kegiatan/proyek/program REDD+ menjadi landasan bagi data yang terdapat pada Lembaga REDD+ di tingkat nasional.

Pemerintah juga telah membuat Rencana Aksi Nasional ReDD+ (RAN-ReDD+) yang disusun untuk menjabarkan Strategi Nasional ReDD+ dengan mengacu pada lima pilar Stranas ReDD+. RAN-ReDD+ tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan kebijakan RAN-GRK yang diatur dalam Perpres 61/2011 dan Perpres 71/2011. Sebagai acuan kegiatan ReDD+ dan sekaligus mengadopsi isu strategis di daerah, daerah perlu merumuskan rencana aksi di tingkat daerah, misalnya: Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) atau Strategi Daerah (STRADA) ReDD+. SRAP/STRADA ReDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan RAN-REDD+ dengan fokus sasaran (Satgas REDD+ 2013):

 

  1. Komitmen pemerintah dalam melaksanakan REDD

Berdasarkan informasi dari dewan nasional perubahan iklim (DNPI) yang disadur dari Viva news.com, kontribusi alih hutan terhadap emisi gas rumah kaca yaitu 48 persen kemudian diikuti energy sebesar 20 persen, pembakaran gambut sebesar 13 persen, sampah sebesar 11 persen, agrikultur sebesar 5 persen dan industrial sebesar 3 persen. Kemudian DNPI menyatakan emisi di Indonesia akan meningkat menjadi 2,95 Giga ton CO2e pada 2020 mendatang dan berupaya mengurangi 0,767 Giga ton Co2e atau 26 persen dari estimasi total emisi 2020. Selanjutnya akan mengurangi emisi 0,422 Giga ton Co2e atau 15 persen total emisi.

Untuk itu Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapatkan bantuan internasional dari kondisi tanpa adanya intervensi aksi mitigasi (business as usual/BAU). Komitmen ini telah dijabarkan melalui Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang diikuti oleh Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) untuk tingkat provinsi (termasuk kabupaten/kota). Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur masing-masing provinsi mengamanatkan pemantauan, evaluasi (kaji ulang), dan pelaporan (PEP), untuk mengetahui pencapaian target dan sasaran penurunan emisi dan penyerapan GRK.  

Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tersebut kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Peraturan ini merupakan landasan hukum pelaksanaan inventarisasi GRK di Indonesia, yang memberikan mandat tidak hanya kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan inventarisasi GRK, akan tetapi juga kepada pemerintah daerah, yakni pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, peraturan ini juga mengamanatkan dilakukannya verifikasi terhadap inventarisasi serta kegiatan-kegiatan penurunan emisi di Indonesia.

Selain peraturan presiden sebagaimana tersebut diatas komitmen Indonesia dalam aksi REDD ini didukung juga oleh peraturan perundangan lainnya sebagai berikut :

  1.   Ada tiga peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan yang langsung berhubungan dengan REDD, yaitu: (1) P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi hutan, (2) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (3) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada hutan Produksi dan hutan Lindung.  

Meski berhubungan dengan ReDD+, ketiga peraturan tersebut memiliki acuan pembentukan yang berbeda. Dua peraturan yang pertama merupakan tindak lanjut dari keputusan SBSTA dalam CoP 13 di Bali yang mendorong penyelenggaraan berbagai demonstration activities atau aktivitas uji coba, untuk menemukan metodologi ReDD+ yang memadai. Di sisi lain, menurut Nur Masripatin, anggota Pokja ReDD Kementerian Kehutanan, kehadiran P.30 juga dipicu oleh semakin merajalelanya inisiatif ReDD+ di daerah yang berpotensi menggadaikan aset bangsa (baca: hutan) tanpa kendali memadai dari kerangka hukum yang ada. Karena itu, Permenhut ReDD+ dibentuk ala kadarnya agar bisa mengatur lalu lintas ReDD+ yang terdiri dari berbagai warna proposal, baik skema sharing benefit, jangka waktu, bentuk hubungan hukum, penyelesaian sengketa dan sebagainya.  

  1.   Sementara itu, P.36 merupakan peraturan mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PJL) berupa penyerapan karbon (carbon sequestration) dan penyimpanan karbon (carbon sink). Konsep PJL itu sendiri sudah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik secara langsung maupun tidak. Beberapa contoh peraturan tentang pemanfaatan jasa lingkungan bisa dilihat sebagai berikut :
  1. uu No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan ekosistemnya Pasal 34 ayat 3: untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
  2. uu No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan Pasal 26 ayat 1: Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
  3. PP No. 6 tahun 2007, tentang Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan Perencanaan hutan serta Pemanfaatan hutan Pasal 1 angka 6: Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya ReDD menunjukan bahwa komitmen pemerintah dalam melaksanakan ReDD sudah tersedia sampai level aplikasi dan peraturannya. Untuk mewujudkan ReDD perlu disikapi dengan kegiatan nyata dari pemerintah daerah, swasta dan dukungan penuh dari masyarakat sehingga emisi gas rumah kaca dapat dikurangi dan masa depan anak bangsa lebih terjamin kelangsungan hidupnya.

Daftar Pustaka:

  1. ________, 2015, Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Jakarta;
  2. Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2004 tentang protocol Kyoto atas konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa-bangsa tentang perubahan iklim.;
  3. Viva News .com, 2013, Penyebab emisi gas rumah kaca di Indonesia,;
  4. _______, november 2013,Konsep REDD+ dan implementasi, the nature conservancy program terestrial indonesia, Jakarta;

 


Share this Post