Pengelolaan DAS Provinsi Banten

Sumber Gambar :

 

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

DI PROVINSI BANTEN

 

  1. PENGELOLAAN DAS TERPADU

Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan banyak pihak.   Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang dirasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat dimana-mana. Rendahnya daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu ekosistem diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air (water related disaster) tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir.

Upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi DASdi Indonesia  sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an melalui Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air (PPHTA), melalui Inpres Penghijauan dan Reboisasi, kemudian dilanjutkan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Tujuan dari upaya-upaya tersebut pada dasarnya adalah untuk mewujudkan perbaikan lingkungan seperti penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata bagi masyarakat.

Sebagaimana telah kita pahami bersama, Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS merupakan kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dijaga dan dikelola dengan sebaik mungkin sehingga dapat menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan kehidupan kita.

Dalam melakukan berbagai upaya pengelolaannya, tujuan yang hendak kita capai dalam melakukan pengelolaan DAS diantaranya adalah untuk mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan yang dilakukan semua stakeholders terkait sesuai dengan perannya masing-masing.  Pengelolaan DAS dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam terkait yang terdiri dari unsur–unsur masyarakat, dunia usaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah dengan prinsip-prinsip keterpaduan, kesetaraan dan berkomitmen untuk menerapkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan.

Pengelolaan DAS  Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS  lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan Pengelolaan DAS.

  1. PENGELOLAAN DAS TERPADU DI PROVINSI BANTEN

Provinsi Banten dengan luas wilayah 865.120 Ha yang terdiri dari 4 (empat) Kabupaten dan 4 (empat) Kota memiliki kawasan hutan seluas 208.161,27 Hektar yang terdiri dari Hutan Konservasi seluas 127.889,30 Hektar (61%), Hutan Lindung seluas 9.471,39 Hektar (5%) dan Hutan Produksi seluas 70.797,58 (34%). Jumlah proporsi luas kawasan hutan terhadap luasan wilayah di Provinsi Banten mencapai 24,06%.

Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan DAS (DAS besar dan DAS kecil) yang ada berdasarkan overlay citra satelit, jumlah DAS di Provinsi Banten sebanyak ± 299 DAS.  Akantetapi apabila DAS-DAS tersebut dikelompokan berdasarkan Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) yang menggabungkan DAS yang berukuran kecil kedalam DAS besar jumlah DAS di Provinsi Banten berjumlah sebanyak 54 DAS yang terbagi kedalam SWP DAS Ciujung Teluk Lada sebanyak 47 DAS dan SWP DAS Ciliwung – Cisadane - Cimandiri sebanyak 7 DAS.

Dalam melakukan pengelolaannya, beberapa DAS yang memiliki urgensi dan tingkat kerawanan yang cukup tinggi seperti DAS Cisadane, DAS Ciujung, DAS Cidanau dan DAS Cibanten telah dilakukan upaya pengelolaan DAS secara terpadu.  Untuk merealisasikan hal tersebut Pemerintah Provinsi Banten yang bersinergi dengan pihak-pihak terkait telah mengupayakan pembentukan Forum DAS dan mengupayakan penyusunan Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Terpadu.  Uraian dari kondisi umum, permasalahan, upaya tindak lanjut serta upaya yang telah dilakukan pada DAS-DAS tersebut adalah sebagai berikut :

  1. DAS Cisadane

Berdasarkan letak geografi, DAS Cisadane berada pada posisi 6,72 – 6,76 o LS dan 106,58 – 106,51 o BT. Sebelah Barat DAS Cisadane berbatasan dengan DAS Cimanceuri, Ciujung, Cidurian dan Cibareno. Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cimandiri. Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Kali Angke dan DAS Ciliwung. Total luas DAS Cisadane adalah 154.654 Ha. Terbagi menjadi 4 sub DAS, yaitu 2 sub DAS di bagian hulu (Cianten dan Cisadane Hulu), 1 sub DAS di bagian tengah dan 1 sub DAS di bagian hilir. Sungai utama yang mengalir di DAS Cisadane adalah Sungai Cisadane yang berasal dari Gunung Gede (2.958 m dpl), mengalir sepanjang 126 Km menuju muara di sekitar Tanjung Burung di Kabupaten Tangerang. Bagian Hulu Sub DAS Cianten terdapat Gunung Kendeng (1.749 m dpl) dan Gunung Salak (2.211 m dpl). Dari Gunung Kendeng, air mengalir melewati Sungai Cikaniki dan bergabung dengan Sungai Cianten di Desa Cijujung Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

Terdapat 11 top isu paling banyak diangkat di DAS Cisadane yang dikelompokkan ke dalam isu fisik, isu ekonomi, dan isu  social sebagai berikut :

  1. Isu fisik : limpasan permukaan yang tinggi, laju erosi tinggi dan longsor yang sering terjadi, sumber dan mata air yang semakin terbatas, dan kualitas air yang semakin memburuk.
  2. Isu ekonomi : tambang atau galian C yang tidak mengindahkan lingkungan, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang tidak kunjung teratasi, dan penyediaan air bagi pertanian dan industri yang semakin tidak memadai.
  3. Isu sosial : ketidakpatuhan terhadap tata ruang, alih fungsi lahan yang semakin banyak terjadi, tumpang tindih kawasan atau tata batas yang tidak jelas, serta penanganan sampah dan limbah yang sangat tidak memadai.

Berdasarkan data potensi dan analisis terhadap permasalah yang ada beberapa rekomendasi yang harus dilakukan di DAS Cisadane adalah sebagai berikut :

  1. Persiapan pengembangan kelembagaan untuk imbal jasa lingkungan terkait sumber daya air yang bersifat mandatory.
  2. Aspek hukum harus ditegakkan untuk menjamin terlaksananya mekanisme reward and punishment dalam pengelolaan DAS Cisadane.
  3. Penguatan kembali aturan hukum dan penegakannya (law enforcement) berkaitan dengan tata ruang (RTRW), sistem tenurial (masalah konflik lahan, penelantaran lahan dan lahan gontai).
  4. Pelibatan masyarakat sejak dini dalam kegiatan perencanaan menjadi kunci keberlangsungan kegiatan rehabilitasi sehingga dari awal tergambar dengan jelas tangungjawab dan peran masing-masing pihak.
  5. Permasalahan di dalam kawasan hutan diselesaikan secara struktural di internal Departemen Kehutanan dan pelibatan masyarakat  yang tergabung dalam LMDH.
  6. Pendekatan rehabilitasi DAS harus didasari dengan program-program untuk meningkatkan atau menciptakan  pendapatan masyarakat (income generating).
  7. Kepemimpinan dan dorongan politik menjadi penentu keberhasilan kegiatan ini di lapangan sehingga diperlukan leadership yang kuat dari bupati, kepala dinas terkait, BPDAS, Perhutani untuk sama-sama mendorong pelaksanaan secara menyeluruh dan memahami tangung jawab masing-masing dengan mengedepankan fungsional dibanding kewenangan  yang dimiliki.
  8. Ada keberlanjutan kebijakan jangka panjang yang tidak terpengaruh oleh pergantian personil di lembaga pemangku kepentingan (menjaga tidak terjadi time in consistency).
  9. Penyadaran publik tentang pola penggunaan lahan yang lestari  dan berwawasan lingkungan, penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sesuai aturan dan secara ekonomi menguntungkan perlu mendapat dukungan yang nyata sehingga penyuluhan dan penyadaran serta perubahan  nilai di masyarakat menjadi kunci dalam pelaksanaan program.
  10. Perlu pendampingan dan pelatihan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam mendampingi pemda dan masyarakat menjadi salah satu faktor  keberhasilan kegiatan.
  11. Perlu dibentuk Komisi Pengendali DAS Cisadane yang beranggotakan seluruh perwakilan stakeholder yang berfungsi untuk merumuskan pengelolaan DAS  Cisadane terpadu.

 

  1. DAS Ciujung

DAS Ciujung secara administrasi berada dalam 5 (lima) wilayah administrasi kabupaten / kota, yaitu Kabupaten Bogor (Propinsi Jawa Barat), dan Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kota Serang (Propinsi Banten); serta berada dalam 4 (empat puluh enam) wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Cijaku, Cipanas, Leuwidamar, Bojongmanik, Gunungkencana, Banjarsari, Cileles, Warung Gunung, Cikulur,  Cimarga, Rangkasbitung, Cibadak, Sajira, Curug-bitung, Tenjo, Sobang, Muncang, Mandalawangi, Pandeglang, Cimanuk, Cipeucang, Mekarjaya, Keduhejo, Karang Tanjung, Cadas Sari, Ciomas, Pabuaran, Baros, Petir, Cikeusal, Kragilan, Ciruas, Carenang, Kasemen, Pontang, Kronjo, Tirtayasa, Cikande, Kiblin, Jawilan, Pamarayan, Cisoka, Kopo, Curug, Walantaka, dan Cipocok Jaya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS Ciujung dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS Ciujung ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).

Berdasarkan beberapa isu pokok di wilayah DAS Ciujung diantaranya meluasnya lahan kritis yaitu seluas 17.741,49 (8,17%), dan tingkat kerentanan terhadap kekritisan lahan dengan kategori agak kritis sekitar 47.362,33 ha (21,81) dan sangat kritis mencakup luas sekitar  109,10 ha (0.05%), fluktuasi debit air di bendung Pamarayan sangat tajam yaitu sekitar 100 m3/detik pada musim hujan dan sekitar 5-12 m3/detik pada musim kemarau,  pencemaran air sungai di Sungai Ciujung wilayah hilir dalam tingkat berat,  tingkat kerentanan kekurangan air untuk penyediaan air irigasi seluas 21.454 ha dan serta air baku untuk Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang dan Kota Serang. 

Hasil identifikasi permasalahan pengelolaan DAS Ciujung diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Lahan kritis (penyebab, luas dan distribusi);
  2. Kondisi habitat (daerah perlindungan keanekaragaman hayati);
  3. Sedimentasi (sumber, laju, dampak);
  4. Debit dan kualitas air (sumber polutan, kelas, waktu);
  5. Masalah penggunaan air tanah dan air permukaan;
  6. Daerah rawan bencana (banjir, longsor, dan kekeringan);
  7. Masalah sosial-ekonomi dan kelembagaan;
  8. Masalah tata ruang dan penggunaan lahan;
  9. Permasalahan antara hulu dan hilir,
  10. Konflik pemanfaatan sumberdaya.

Pengelolaan DAS Ciujung yang berkelanjutan mempersyaratkan dipenuhinya kriteria dan indikator untuk setiap komponen/aktivitas pengelolaan DAS yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, implementasi, monitoring dan evaluasi (monev). Untuk masing-masing komponen pengelolaan DAS tersebut, kriteria yang digunakan dan dianggap relevan untuk menentukan tercapainya pengelolaan DAS Ciujung yang berkelanjutan.

Dalam perjalanannya Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Ciujung terpadu terkendala dalam tahap penyusunan, penilaian dan pengesahan (SUNLAISAH).  Terdapat koreksi dan perbaikan yang harus dilakukan dalam penyempurnaan isi dokumen tersebut. Sampai dengan saat legalisasi dokumen tersebut masih belum terselesaikan.

Pemerintah Provinsi Banten telah membentuk forum multi-pihak, yang bernama “Forum Pelestarian DAS Ciujung”. Forum DAS didefiniskan sebagai wadah koordinasi pengelolaan DAS bagi organisasi para pemangku kepentingan yang terkoordinasi dan dilegalisasi oleh Gubernur Banten.

  1. DAS CIDANAU

DAS Cidanau dengan luas 22.620 Ha termasuk kedalam SWP DAS Ciujung Teluk Lada yang berada di dua wilayah Administratif yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Secara geografis Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau terletak pada 105o51’23” – 106o03’04” Bujur Timur dan 06o07’35” – 06o17’19” Lintang Selatan dengan luas sekitar 22.690 Ha dengan batas topografi :

  Sebelah Utara Gunung Gede dan Gunung Saragian

  Sebelah Timur Gunung Karang

  Sebelah Selatan Gunung Aseupan dan Gunung Condong

  Sebelah Barat Selat Sunda

Secara administratif, DAS Cidanau terletak di Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Wilayah Kabupaten Serang meliputi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Padarincang, Cinangka, Ciomas, Mancak dan Gunungsari. Sedangkan Wilayah Kabupaten Pandeglang terletak di Kecamatan Mandalawangi.

Dalam mendukung upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di DAS Cidanau, telah dibentuk Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) melalui Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/2002, tanggal 24 Mei 2002.  Forum DAS tersebut dibentuk dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) .

Forum Komunikasi DAS Cidanau tersebut berfungsi sebagai wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, memberikan sumbangan pemikiran, menumbuhkan dan mengembangkan peran pengawasan masyarakat maupun membantu menyelesaikan masalah/ konflik yang terjadi di sekitar DAS Cidanau.

Sebagai lembaga independen dan mitra dari lembaga atau instansi teknis, forum DAS Cidanau bukanlah sebagai pelaku/eksekutor dalam melakukan berbagai kegiatan, melainkan hanya memberikan arahan yang efektif sebagai bagian dari pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS dari hulu ke hilir secara utuh.

Semenjak dibentuknya forum tersebut sampai dengan saat ini, berkat eksistensi dan keberadaan anggota forum telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang berada di wilayah hulu, tengah maupun hilir.  Berbagai program dan kegiatan dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota maupun Swasta terus diupayakan dan di koordinasikan bersama dengan Forum DAS Cidanau yang dilakukan di sekitar DAS Cidanau.  Mekanisme timbal balik jasa lingkungan air antara masyarakat dengan Perusahaan pun terus di kembangkan.

Dalam melakukan upaya pengembangan timbal balik jasa lingkungan, masyarakat yang berada di wilayah hulu memperoleh insentif atas upaya mempertahankan kelestarian tanaman untuk tidak menebang/merusak pohon.  Aliran sungai yang memiliki kualitas dan kontinyuitas yang baik juga dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah tengah.  Bahkan masyarakat maupun berbagai pelaku industri yang berada di wilayah hilir dapat memanfaatkan air tersebut untuk keberlangsungan kehidupannya.

Dengan memberikan jaminan atas keutuhan/kelestarian tanaman yang dimilikinya, masyarakat selakuk penyedia (seller) jasa air di wilayah hulu bersedia untuk menandatangani kontrak perjanjian kerjasama dengan pihak pengguna (buyer) jasa air dengan di fasilitasi oleh Forum DAS Cidanau.

Efek timbal balik yang saling menguntungkan antara pihak-pihak terkait itu lah yang selama ini harus tetap dijaga dan ditumbuh kembangkan sehingga manfaat yang dirasakan akan lebih optimal.  Keterlibatan dari pihak penyedia jasa air terus dilakukan, begitu pula dengan keberadaan pengguna jasa air pun terus dikembangkan.

  1. DAS CIBANTEN

Sungai Cibanten sebagai  salah satu potensi sumber daya alam penting yang dimiliki Kabupaten (bagian hulu) dan Kota Serang (bagian hilir), dalam menunjang keberlanjutan pembangunan dan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan dan industri, terutama industri di kawasan Kecamatan Bojonegara dan Pulau Ampel, wilayah yang juga merupakan lokasi rencana pembangunan pelabuhan Bojonegara.  Akan tetapi dengan kondisi DAS Cibanten yang terus terdegradasi dan debit Sungai Cibanten saat ini yang memiliki kecenderungan menurun, maka Sungai Cibanten sulit untuk dijadikan modal dasar pembangunan, untuk mendukung pertumbuhan Kota Serang sebagai pusat pemerintahan Propinsi Banten, kawasan wisata Banten Lama dan kawasan Perlindungan hutan Cagar Alam Pulo Dua (Pulau Burung).  Diperlukan upaya rehabilitasi, normalisasi dan penataan kawasan DAS Cibanten, agar debit Sungai Cibanten bisa meningkat dan mencukupi kebutuhan air baku yang diprediksi akan meningkat 5 – 10 kali lipat dari kebutuhan air baku saat ini.

Degradasi tersebut di atas merupakan dampak dari semakin cepatnya pertumbuhan penduduk yang menjadi beban tersendiri bagi lahan DAS di luar perkotaan. Beban ini mulai dari hulu sampai dengan hilir, lahan diekploitir dengan berlebihan dan dengan cara yang tidak mengindahkan aspek pelestarian lingkungan (penambangan pasir). Sebagai akibatnya kemampuan DAS untuk menyimpan air atau menahan laju air limpasan menjadi sangat terbatas, akibat selanjutnya adalah saat musim penghujan terjadi banjir, sebaliknya pada saat musim kemarau terjadi kekurangan air.   Debit puncak Sungai Cibanten pada musim penghujan mencapai 26,74 m³/detik, sedangkan debit terendah pada musim kemarau mencapai 9,73 m³/detik (Sumber : Balai Pengelolaan Sumber Daya Air, Tahun 2013)

Selain itu, pola pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah berakibat pada tingginya tingkat erosi. Hal ini mengakibatkan pendangkalan di sungai maupun muara sungai serta semakin kurusnya tanah, karena lapisan subur (top soil) terbawa erosi.

Akibat ikutan erosi ini adalah tercemarnya perairan Teluk Banten oleh sedimen yang terbawa air Sungai Cibanten. Sedimen Sungai Cibanten meningkatkan kekeruhan (turbidity) air laut di Teluk Banten, yang menyebabkan eutrofikasi dan terhambatnya proses fotosintesa untuk mendukung proses ekologi ekosistem perairan laut (coral reef dan seaweed). Kerusakan dua ekosistem penting perairan laut tersebut, dapat dipastikan akan menurunkan produktivitas hasil tangkap ikan laut dari kawasan perairan Teluk Banten.  Akhir dari proses degradasi lingkungan di DAS Cibanten, yang dimulai dari hulu sampai dengan hilir adalah penurunan penghasilan nelayan dan kenyamanan hidup masyarakat Kabupaten Serang dan Kota Serang secara luas, dimulai dari kelangkaan air, banjir, kelangkaan ikan dan lain sebagainya.

Disamping itu DAS Cibanten sebagai salah satu wilayah hidrologis memiliki kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya yang sangat bervariasi.  Sehingga upaya pengelolaan harus didasarkan pada kondisi yang ada, dengan pendekatan yang komprehesif.  Sehingga kepentingan ekologi dan sosial ekonomi dapat dilakukan secara selaras, dan keberlanjutan DAS Cibanten sebagai modal dasar untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Pembentukan kelembagaan Pengelolaan DAS Cibanten dengan mengacu pada konsep one river, one plan dan one management diharapkan mampu memberikan jalan keluar dari berbagai tantangan dan persoalan yang ada.  Sehingga setiap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cibanten, dapat memahami peran, hak dan kewajiban sesuai dengan kewenangannya masing – masing.  Disamping pengelolaan yang terintegrasi, mampu menahan laju degradasi lingkungan yang terjadi, diharapkan juga mampu mempercepat proses rehabilitasi DAS Cibanten, yang pada akhirnya mampu mengembalikan fungsi DAS Cibanten dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.

Dari pengamatan dan wawancara dengan warga di sekitar muara Sungai Cibanten, Pulo Dua (Pulau Burung) yang semula terpisah dari daratan, saat ini telah menyatu. Hal ini diperkirakan akibat dari sedimentasi yang besar terjadi di muara. Sedimentasi tersebut berasal dari material yang terbawa arus air sungai Cibanten saat terjadi banjir ditambah dengan sampah dari perkotaan yang terangkut arus air sungai, sehingga terjadi penumpukan sampah dimuara Cibanten (muara cengkok).

Aliran sungai merupakan suatu aliran yang melintasi dan menuju suatu mulut pelepasan, fluktuasi aliran sungai dapat menyebabkan banjir dan erosi tanah.  Aliran sungai merupakan output suatu DAS, pada DAS Cibanten terjadi perbedaan yang mencolok antara musim penghujan dan musim kering (perbedaan antara debit maksimum dengan minimum).

Fluktuasi aliran sungai yang cukup besar yang terjadi di DAS Cibanten dapat mengakibatkan bahaya banjir pada musim penghujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau, debit maksimum untuk lima tahun terakhir terjadi pada bulan Desember 2012 mencapai 63,82 m3/detik sedangkan debit minimum terjadi pada bulan September 2011 sebesar 0,004 m3/detik.

Dari gejala tersebut diperlukan kajian yang lebih detail tentang kondisi DAS Cibanten secara menyeluruh, disamping diperlukan pula upaya pengelolaan secara terintegrasi dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cibanten.

 


Share this Post